Menjadi Manusia Adil dan Beradab di Ruang Digital

Oleh: Zainal Muttaqin*

Tanggal 1 Juni bukan sekadar penanda sejarah lahirnya dasar negara, tetapi juga panggilan bagi kita semua untuk kembali merenungkan nilai-nilai yang menjadi fondasi Bangsa Indonesia. Pada peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2025 ini, tema “Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya” dipilih sebagai ajakan bersama, bukan hanya untuk menghafal sila-sila dalam teks, melainkan menjadikannya hidup dalam perilaku dan komunikasi kita sehari-hari.

Di tengah dunia digital yang serba cepat, gaduh, dan sering kali penuh polarisasi, kita perlu menengok kembali sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini tak lagi cukup dipahami dalam konteks hubungan sosial secara fisik atau hukum semata. Saat ini, keberadaban diuji di layar ponsel kita, keadilan diuji lewat cara kita menilai sesama di kolom komentar. Apakah kita sudah memperlakukan orang lain di ruang digital dengan adil? Apakah tutur kata kita di media sosial mencerminkan sikap yang beradab? pertanyaan-pertanyaan ini layak kita renungkan jika benar-benar ingin membumikan Pancasila di era digital.

Keadilan dan Keberadaban di Tengah Bisingnya Dunia Digital

Di media sosial, setiap orang adalah komunikator, setiap individu adalah informan. Sayangnya, kebebasan ini tidak selalu diiringi oleh tanggung jawab dan etika. Kita semakin sering melihat ketidakadilan dalam bentuk perundungan daring, ujaran kebencian, penyebaran hoaks, hingga penghakiman sepihak terhadap tokoh publik atau masyarakat biasa. Fenomena cancel culture dan pembunuhan karakter menjadi semacam “hiburan kolektif” yang tersebar luas di linimasa.

Padahal, keadilan bukan hanya soal memberi hak secara proporsional, tetapi juga tentang memberikan penilaian secara utuh dan tidak tergesa. Sementara keberadaban menuntut adanya rasa hormat, empati, dan penghargaan terhadap martabat sesama manusia, termasuk saat berinteraksi secara daring.

Data dari Microsoft’s Digital Civility Index menunjukkan bahwa Indonesia mengalami tantangan besar dalam hal kesopanan digital. Kita cenderung impulsif dalam menanggapi isu, mudah menghakimi, dan kurang reflektif sebelum membagikan atau mengomentari informasi. Ini bukan sekadar soal etiket, tetapi cermin dari krisis nilai: kita mulai kehilangan adab dalam bertutur dan berinteraksi.

Memaknai Ulang Sila Kedua Pancasila di Era Digital

Sila kedua mengandung dua prinsip mendasar: adil dan beradab. Adil berarti memberikan sesuatu sesuai haknya, tidak berat sebelah, tidak semena-mena. Beradab berarti menjunjung tinggi nilai moral, memiliki kesopanan, menghargai orang lain.

Dalam konteks digital, menjadi manusia adil berarti tidak asal share tanpa verifikasi, tidak langsung menuduh hanya berdasarkan potongan video, tidak menggiring opini demi keuntungan pribadi atau kelompok. Sedangkan menjadi manusia beradab berarti menjaga bahasa, menahan diri agar tidak menghina, serta membangun komunikasi yang mendidik dan menyatukan.

Jika prinsip ini dilanggar, maka tidak hanya individu yang tercoreng, tapi juga kehidupan sosial bangsa terganggu. Hoaks memecah belah. Ujaran kebencian menumbuhkan permusuhan. Polarisasi politik di media sosial bisa menjalar menjadi konflik nyata di masyarakat.

Netizen dan Ujian Keadilan: Menyikapi Pemimpin di Medsos

Tanggung jawab untuk berlaku adil dan beradab tidak hanya dibebankan kepada pemerintah atau humas. Masyarakat sebagai netizen juga memegang peranan besar dalam menjaga keberadaban ruang digital. Dalam kehidupan demokrasi yang sehat, kritik terhadap pemimpin adalah hal wajar. Namun, saat kritik berubah menjadi hujatan tanpa dasar, penistaan pribadi, atau kampanye kebencian yang terkoordinasi, di situlah batas keadilan dan keberadaban telah dilanggar.

Belakangan ini, kita melihat fenomena beberapa figur pemimpin, sebut saja KDM (Kang Dedi Mulyadi), yang sangat aktif dan mendominasi narasi di media sosial. Ada yang mengapresiasi langkah ini sebagai bentuk kedekatan dengan rakyat. Namun tak sedikit pula yang justru membandingkan dan menilai pemimpin lain secara sepihak, seolah tidak layak hanya karena tidak tampil seviral pemimpin yang dimaksud.

Menjadi manusia yang adil berarti tidak menilai hanya dari apa yang terlihat di permukaan media sosial. Popularitas bukan satu-satunya ukuran keberhasilan kepemimpinan. Banyak pemimpin yang bekerja dalam diam, membangun dengan integritas, tanpa mengejar eksposur digital. Menjadi netizen yang beradab berarti memberikan ruang penghargaan atas perbedaan gaya, tanpa menjatuhkan pihak lain demi membela figur favoritnya.

Sikap fanatik digital terhadap satu sosok pemimpin bisa melahirkan ketidakadilan baru. Kita bisa terjebak dalam polarisasi yang merugikan bangsa. Oleh karena itu, masyarakat digital perlu membiasakan diri bersikap lebih proporsional, objektif, dan tetap menjaga etika dalam menyampaikan apresiasi maupun kritik. Kita tidak sedang memilih "idola media sosial", tetapi membangun masa depan bangsa yang membutuhkan semua tangan dan pikiran, dari seluruh pemimpin yang ada.

Komunikasi yang Memanusiakan, Bukan Menghakimi

Esensi dari Sila Kedua adalah memanusiakan manusia. Dalam komunikasi, ini berarti tidak merendahkan, tidak melecehkan, dan tidak menghilangkan hak orang lain untuk didengar. Jika seseorang berbeda pendapat, itu bukan alasan untuk mencacinya. Jika seorang tokoh publik membuat kesalahan, ia tetap manusia yang berhak mendapatkan penilaian yang adil dan tidak dipermalukan secara massal.

Sayangnya, banyak pengguna media sosial yang gemar melampiaskan amarah tanpa kendali, memviralkan aib, dan menghakimi tanpa tabayun. Inilah bentuk ketidakberadaban digital yang harus kita ubah.

Menjadi manusia adil dan beradab di ruang digital adalah tugas kolektif. Dan pemerintah, melalui humasnya, harus menjadi pionirnya. Tidak cukup hanya menyampaikan pesan-pesan formal, humas harus mampu menyentuh dimensi emosional dan kultural masyarakat, agar nilai-nilai luhur seperti keadilan dan keberadaban benar-benar hidup dalam interaksi digital kita.

Peran Strategis Humas Pemerintah

Di tengah situasi ini, Humas Pemerintah memiliki peran sentral sebagai pengelola komunikasi publik yang bertanggung jawab. Fungsi kehumasan tidak hanya menyampaikan informasi program kerja dan keberhasilan pembangunan, tetapi juga menjadi penjaga nilai dan pelurus narasi.

Humas Pemerintah harus menjadi teladan dalam mengedepankan komunikasi yang adil dan beradab. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil antara lain : (1) Mengedukasi publik tentang etika komunikasi digital; (2) Membangun narasi yang inklusif dan humanis; (3) Menjadi fasilitator kolaborasi komunikasi melalui konsep Pentahelix; (4) Merespons kritik secara adil, proporsional, dan tidak represif.

Menuju Indonesia Raya: Membangun Ulang Peradaban Komunikasi

Pancasila bukan sekadar ideologi negara, ia adalah panduan hidup bersama. Jika kita benar-benar ingin memperkokoh Pancasila menuju Indonesia Raya, maka kita harus membangun ulang peradaban komunikasi. Ruang digital harus menjadi tempat berbagi gagasan yang membangun, bukan medan pertempuran kebencian.

Keberadaban komunikasi akan melahirkan kepercayaan. Kepercayaan akan melahirkan persatuan. Persatuan akan memperkuat ketahanan bangsa. Dan dari sinilah jalan menuju Indonesia Raya bisa ditempuh bersama.

Sebagai komunikator, sebagai pejabat publik, atau sebagai warga negara biasa, kita semua memikul tanggung jawab yang sama untuk menjaga komunikasi yang adil dan beradab.

Menghidupkan Pancasila Lewat Komunikasi Sehari-hari

Menjadi manusia adil dan beradab di ruang digital memang tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil. Semua dimulai dari kesadaran untuk menghargai sesama, menahan jari dari komentar buruk, dan menjadikan media sosial sebagai ruang berbagi nilai, bukan permusuhan.

Di Hari Lahir Pancasila ini, mari kita hayati sila kedua bukan sekadar hafalan, tapi amalan nyata, terutama dalam cara kita berkomunikasi. Karena Indonesia Raya tak hanya dibangun dari pidato di mimbar negara, tapi juga dari narasi-narasi kecil yang kita bangun di ruang digital, tempat jati diri bangsa tercermin, apakah kita benar-benar adil dan beradab, atau justru sebaliknya.

*) Dr. Zainal Muttaqin, S.Kom, M.I.Kom, CPR, CGAM. adalah Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur